Menurut pemahaman saya, salah satu ajaran moral Al-Quran yang utama adalah perkara kedaulatan manusia atas fitrahnya. Selain ia bersaksi lahir batin bahwa tiada tuhan selain Allah, maka manusia juga diberi pilihan untuk menentukan perjalanan hidupnya; menuju sebagai sebaik-baik makhluk atau serendah-rendahnya ciptaan Tuhan di bumi ini. Bersumber dari ajaran itu maka Islam memandang sama antarseluruh umat manusia di muka Khaliknya. Yang membedakan adalah amal ibadahnya; perbuatan dan kesetiaan pada tuntunan moral dan akhlak agama Islam yang dianutnya. Tuntunan itu tiada lain adalah kandungan Al-Quran sebagai tuntunan bagi seluruh umat manusia, hudan li al-nas, dan petunjuk untuk bisa membedakan, mana perbuatan dan amalan yang haq dan mana pula yang bathil; wa bayyinatin min al-huda wa al-furqan.
Perlu kita ingat bahwa Al-Quran diwahyukan dalam situasi kesejarahan yang konkret. Ada peradaban jahiliyah di masyarakat pra-Al-Quran. Ada konflik nilai antara praktik dan tatanan peradaban yang berlaku di satu pihak dengan kandungan wahyu Ilahi yang diturunkan melalui Rasulullah saw. untuk memperbaiki akhlak manusia di pihak lain. Sehingga banyak formulasi pesan ilahiyah dituangkan berupa tanggapan terhadap situasi di Arab ketika wahyu diturunkan. Mempelajari latar belakang kesejarahan turunnya wahyu Ilahi merupakan sarana penting, ketika kita hendak menangkap pesan Kitab Suci secara utuh.
Ada pula dimensi lain dari upaya pemahaman pesan-pesan utuh Al-Quran. Al-Quran kita imani sebagai kalam Ilahi. Karenanya Kitab Suci Al-Quran bukan hanya mengandung kebenaran yang abadi, tetapi juga relevansi yang abadi. Al-Quran karenanya sah untuk ditafsirkan dan dicermati kembali maknanya dalam konteks kekinian. Maksudnya agar tafsirnya dapat diproyeksikan guna menjawab tantangan-tantangan kemanusiaan dan peradaban yang senyatanya ada, bukan yang hipotesis, bukan pula yang arkeologis, yang sudah usang dan tidak relevan dengan kenyataan zaman. Situasi masa kini pun harus selalu bisa dilihat dalam perspektif moral dan akhlak menurut ajaran Kalam Ilahi itu. Kemudian pancaran ajaran moral Al-Quran itu harus selalu bisa digunakan untuk menjawab masalah-masalah yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-harinya. Inilah hakikat upaya teman-teman intelektual Islam untuk dengan penuh takwa dan iman, mengembangkan tafsir kontekstual dari ajaran Al-Quran.
Untuk mampu memproyeksikan Islam agar tetap terjaga kelanggengan ajaran dan pesan moralnya, guna menjawab tantangan kemanusiaan dan peradaban aktual, perlu penguasaan ilmu, fa'inna baqâ'al Islâmi bil-'ilmi. Dalam surah An-Nahl ayat 10 hingga 16 disajikan berbagai gejala alam serta fungsi dan manfaat benda-benda ciptaan Allah. Dan setiap kali menutup kalimat pemberitahuan itu, Allah menandaskan bahwa semuanya itu merupakan isyarat bagi orang-orang yang suka melakukan pengamatan, li qawmi yadzakkarûn, mereka yang suka menggunakan nalar, li qawmi ya'qilûn, dan mereka yang suka menganalisis dan merenungkan, li qawmi yatafakkarûn. Semuanya itu dilakukan bukan sekadar agar manusia memperoleh petunjuk, la'allakum tahtadûn, melainkan juga agar manusia bisa memahami ramifikasi misteri nikmat dan ciptaan Allah itu untuk kemudian bisa memperoleh rasa syukur, la'allakum tasykurûn, atas segala anugerah Allah itu. Orang yang dianugerahi kenikmatan untuk mampu melaksanakan petunjuk Allah untuk merenungkan dan memikirkan kejadian langit dan bumi tadi disebut oleh Al-Quran sebagai Ulil Albab (QS Az-Zumar: 21). Ada juga diistilahkan sebagai Ulin Nuha (QS Thaha: 128), yaitu orang yang mengambil pelajaran dari sukses dan kegagalan generasi terdahulu.
Betapa besar penghargaan Islam terhadap peran ilmu dan akal. Bahkan Islam mendorong manusia untuk tidak henti-hentinya menguak rahasia alam, mengungkapkan karunia yang tersembunyi dalam segala ciptaan-Nya, serta menemukan hikmah dari hasil pengkajian itu. Dan barangsiapa dianugerahi hikmah berarti benar-benar ia mendapatkan kebaikan yang melimpah. Hikmah, barangkali dalam bahasa sekarang adalah wisdom atau kewicaksanaan. Hikmah dapat dipetik dari kajian tentang alam semesta bukan hanya sebagai fenomena fisik, tetapi juga alam semesta sebagai rangkaian kejadian-kejadian, sejarah umat manusia, perkembangan peradaban, sosial ekonomi, dan budaya serta teladan dan cermin yang diberikan oleh Allah sebagai jalinan peristiwa kehidupan. Sesungguhnyalah Al-Quran banyak sekali mengungkapkan sejarah tokoh teladan bukan dalam konteks kronologi peristiwa atau pengabaran yang cermat. Melainkan dalam deskripsi dan atau analisa kejadian-kejadian tematis yang disajikan dalam kerangka etis Qurani. Barangkali itulah yang dimaksud dengan petunjuk dan rahmat bagi kaum yang mempelajari dan memetik hikmah dari bacaan mulia ini.
Perhatikan, misalnya, kandungan ayat suci yang mengungkap kejadian tentang penguasa zalim seperti Fir'aun, tentang Nabi Daud, Nabi Sulaiman sebagai raja yang adil dan bijaksana. Atau deskripsi tentang dekadensi moral masyarakat yang terjadi pada zaman Nabi Luth. Banyak sekali cerita tematis semacam itu disajikan dalam Al-Quran, yang dipakai sebagai pengantar pesan-pesan akhlak dan ajaran moral bagi umat Islam untuk bercermin atau menjadikannya sebagai peringatan dan suri teladan. Ada konsistensi moral di sana; konsistensi ke mana pedoman moral Qurani itu diarahkan. Pesan moral itu ialah bahwa: Tiada aku utus engkau (ya Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam. Wamâ arsalnâka illâ rahmatan lil âlamîn (QS Al-Anbiya': 107).[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar