Selasa, 18 Agustus 2015

Muslim yang Cendekia

Gambaran orang tentang citra umat Islam yang tradisional, statis, dan resisten terhadap kemajuan, kini berubah. Mungkin masih banyak di antara mereka yang sarungan atau teklekan. Tapi dalam kancah kemajuan dan modernisasi, mereka bukan kerak dalam jelaga. Pergulatan pemikiran Islam justru ditantang, tatkala dunia sedang berubah cepat. Transformasi masyarakat dirongrong dalam konteks globalisasi. Karena itulah, berbagai pertemuan cendekiawan Muslim menarik banyak minat dan perhatian.

Perkembangan global, di samping membawa banyak manfaat, juga harus diperhitungkan ekses madharatnya, bagi perjuangan umat Islam untuk mewujudkan rahmat bagi semua. Kemajuan sains dan teknologi telah mampu membuka makin lebar rahasia alam semesta. Komunikasi makin mendekatkan pemahaman dan saling pengertian antarberbagai kebudayaan, tata nilai, dan norma. Toleransi antarperadaban makin luas. Bahkan umat Islam juga mulai membuka-buka kembali premis Quraninya tentang etika universal sebagai dasar mereka bergaul dengan umat manusia yang beragam itu.

Tetapi kebalikannya, gelar kemajuan dan modernisasi juga membawa serta limbah peradaban yang bisa mencemari ajaran akhlak mulia---akhlakul karimah---yang menjadi pijakan keberagamaan semua Muslim. Kemajuan itu juga sarat beban pergeseran tata nilai yang bisa menjerumuskan. Pemujaan kepada kebendaan, kedudukan, pangkat, dan jabatan adalah ancaman syirik yang paling nyata.

Runtuhnya nilai-nilai cinta-kasih, solidaritas sosial diganti dengan individualisme adalah bentuk pendustaan agama yang selalu bisa mengancam setiap Muslim yang lupa. Kegandrungan pada pendekatan 'bebas nilai' dalam memecahkan semua masalah merupakan ancaman sekularisasi yang menakutkan mereka yang peduli.

Dari perspektif ajaran Islam, perubahan, dan transformasi masyarakat selalu harus dirujukkan dengan ajaran moral dan etika yang diwahyukan Allah dalam Al-Quran dan diteladani oleh Muhammad Rasulullah saw. Bagi umat Islam, bukan saja hanya ada satu arah dari perubahan dan transformasi sosial itu, ditinjau dari premis moral dan etika Qurani tadi. Tetapi jalan itu diyakini sebagai jalan yang lurus dan untuk menempuhnya umat Islam tidak mengenal kompromi. Oleh karena itu, perkembangan global, termasuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan dilihat sebagai determinan. Ia hanya rujukan, bahkan kadangkala membawa limbah tantangan. Kalau arahnya kongruen dengan premis dan etika moral Islami, akan memperkokoh perjuangan umat Islam. Kalau tidak, menjadi kewajiban seluruh umat Islam untuk turut mengambil bagian dalam proses meluruskannya.

Islam, biar di tangan cendekiawan, melihat transformasi masyarakat harus dengan kacamata akidah dan premis akhlakul karimah tadi. Empirisisme dan logika, apalagi dilandasi sikap pragmatisme, tidak termasuk dalam rukun iman. Matematika, logika, sains, dan teknologi itu alat penunjang belaka. Seperti pisau atau senjata. Hanya di tangan manusia yang mulia akhlaknya, semuanya itu akan membawa manfaat dan mengatasi kemadharatan. Bukankah sains dan teknologi saja, tidak mengajarkan kepada kita, apa makna eksistensi kita sebagai manusia? Hanya agama, yang memberi bekal lengkap dan paripurna akan khasanah makna kehidupan itu.

Pembangunan manusia seutuhnya, sebagai upaya rekayasa transformasi masyarakat, karenanya merupakan rumusan tentang hakikat pembangunan yang menempatkan manusia sebagai titik sentralnya. Manusia dengan potensinya untuk hidup dengan konfigurasi utuh. Berakhlak dan berbudi serta berkemampuan untuk menegakkan fitrahnya sebagai makhluk yang berpikir, berbuat, dan bermasyarakat.

Tugas Muslim yang cendekia ialah turut menjadi pemandu, menjaga agar transformasi masyarakat itu masih tetap berjalan dalam alur tidak terlanggarnya akidah dan akhlak Islam.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar