Sabtu, 22 Agustus 2015

Agama dan Iptek

Sejak penemuan astronomi oleh Galileo Galilei sampai kelahiran teori evolusi oleh Charles Darwin, agama seolah-olah ditantang oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan peradaban manusia dalam perjalanan sejarah terasa lebih banyak didominasi perubahan yang dibawa oleh hasil temuan, kecerdasan dan daya cipta manusia daripada pengalaman dan aktualisasi pesan moral agama oleh para pemeluknya. Produk temuan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu telah mempengaruhi bangunan kebudayaan dan gaya hidup manusia sepanjang zaman.

Lalu orang pun bertanya, bahkan risau, di mana gerangan peran agama dalam dinamika kehidupan umat manusia di muka bumi pada era ilmu dan teknologi ini? Apa yang telah dipetik oleh umat manusia dari ajaran agama, tatkala menghadapi perubahan-perubahan yang seolah-olah dikendalikan oleh kemajuan iptek semata-mata itu? Bahkan ada sementara orang yang justru menganggap sendi-sendi ajaran agama telah digoyahkan oleh rasionalisme ilmu pengetahuan dan kecanggihan temuan teknologi. Kita mengenal tragedi Galileo yang ironis bagi sikap agama terhadap kapasitas akal manusia dalam membuka rahasia alam melalui ilmu pengetahuan. Atau perdebatan soal teka-teki evolusi Darwin yang terhenti pada paradoks missing link atau mata rantai yang hilang. Sejak itu dialog antara ilmu dan agama seolah belum kunjung tuntas juga.

Hasil karya kecerdasan, daya pikir dan kreativitas manusia, seolah-olah telah mengguncang sendi-sendi ajaran akidah agama kita. Supaya teguh iman, kita ternyata selalu dituntut untuk terus-menerus mengkaji, menganalisis, dan merenungkan kembali rahasia yang digelar di alam semesta ini. Untuk itu pun ternyata kita harus menggunakan sarana akal dan ilmu juga.

Memang, temuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menyebarkan hasil yang membawa kemajuan dan dampaknya terasa bagi kehidupan seluruh umat manusia. Makanan yang kita nikmati, pakaian yang kita kenakan, rumah dan gedung tempat kita berteduh, bahkan kata-kata yang kita gunakan untuk berkomunikasi satu dengan yang lain, menjadi makin meningkat mutunya, berkat sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kecerdasan yang kita gunakan untuk mempertajam daya pikir dan daya nalar serta segala gaya hidup yang mengerangkai peradaban dan kebudayaan kita, adalah produk ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua hasil temuan iptek tadi harus kita akui, telah berhasil secara nyata mempengaruhi serta memperbaiki taraf dan mutu hidup manusia.

Banyak orang berkeyakinan bahwa dengan ilmu dan teknologi kemajuan hidup manusia dapat ditingkatkan nyaris 'tanpa batas'. Walaupun demikian, kenyataan yang dihadapi oleh kehidupan umat manusia, ternyata jauh dari harapan apalagi keyakinan tentang peran iptek yang konon 'tak terbatas' itu. Lepas dari temuan di bidang produksi makanan dan obat-obatan yang begitu pesat dan menakjubkan hasilnya, tetapi kita pada kenyataannya masih menemukan kemiskinan absolut, malnutrisi, dan kurang pangan, kurang pendapatan, prevalensi penyakit, dan penderitaan manusia terhampar di mana-mana.

Hubungan, saling pengertian serta cinta kasih antarumat manusia yang menjadi dambaan harmoni setiap insan, ternyata tidak juga menunjukkan arah perbaikan, lepas dari kemajuan dan temuan iptek yang begitu pesat menakjubkan. Sementara di satu pihak, iptek telah mengembangkan berbagai resep hubungan antarmanusia dan antarbangsa, di pihak lain sengketa antarkelompok, menguatnya prasangka golongan, rebutan kenisbian, dan pemeliharaan benih-benih permusuhan dan konflik masih terhampar luas di mana-mana. Bahkan saat ini, tatkala dunia makin terbuka, informasi makin mudah diperoleh, solidaritas antarumat manusia justru keadaannya lebih mengkhawatirkan, bila dibandingkan dengan keadaan pada era keterbelakangan.

Lalu, apa boleh buat. Kita memperoleh kesan seolah-olah hikmah dan ridha Allah merupakan dataran transendental yang tidak bersentuhan dengan premis yang dipakai acuan kemajuan di bidang iptek. Pemahaman manusia atas esensi pesan yang diungkapkan kalam Ilahi dan teladan Rasul seolah-olah sama sekali tidak ada hubungan dengan kerangka etis yang mengilhami kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Hal ini antara lain karena premis pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu pada dasarnya adalah 'bebas nilai'. Walaupun niat awal semua kerja keilmuan dan temuan teknologi adalah bagi kemajuan kehidupan umat manusia. Tetapi ternyata segala kemajuan ilmu dan teknologi itu jauh dari mencukupi untuk memikul tanggung jawab kemanusiaan itu.

Banyak kalangan ilmuwan dan teknolog sendiri yang justru merasakan betapa masa depan kehidupan umat manusia bukan makin terang, tetapi justru semakin meredup karena perkembangan iptek yang tidak dijiwai oleh semangat etis. Persaingan dan perebutan sumber daya alam, eksploitasi atau penindasan yang dilakukan lapisan masyarakat kuat terhadap yang lemah, ketidakberdayaan karena kemiskinan, kebodohan, dan ketergantungan laten merupakan ciri pergaulan antarlapisan, golongan-golongan dan bangsa-bangsa dewasa ini. 'Keputusasaan' tampak makin melanda sementara lapisan masyarakat atau bangsa di dunia, karena makin menipis kepercayaan pada tatanan peradaban yang ada.

Semuanya itu menunjukkan bahwa konflik imani manusia, sama sekali tidak ikut terpecahkan atau dijembatani oleh temuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu. Akibatnya manusia dalam berbagai tindakannya, tidak berhasil berdamai dengan kesadaran etis dan keyakinan akidahnya sendiri. Perbuatan manusia yang lebih didorong nafsu bersaing, berebut memanfaatkan hasil iptek, tetapi tidak dibarengi kemampuan untuk menegakkan dimensi etis penggunaannya, menghasilkan akar-akar konflik sosial, ekonomi, dan politik itu. Karena kesenjangan, kelimpahruahan yang akses pemanfaatannya sangat timpang, telah menghina rasa kelayakan, kewajaran, dan keadilan. Konsumerisme dan keserakahan tidak pernah bisa dirujukkan dengan fitrah baik dan suci manusia sebagai sebaik-baik makhluk ciptaan Allah. Lalu ia pun mempunyai dua pilihan. Menutup mata hati dan mengingkari fitrah kemanusiaannya atau melakukan kontemplasi, bertafakur, merenungkan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Peradaban manusia ditentukan oleh posisi, di mana kesadaran nuraninya yang paling dalam didudukkan, dalam kancah kehidupan yang gegap-gempita itu.

Ringkasnya, ilmu pengetahuan dan teknologi memang sudah berhasil menemukan sarana dan kemungkinan bagi manusia untuk bisa membebaskan diri dari drama kemiskinan dan kejumudan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil membuka peluang bagi umat manusia untuk meraih kemudahan, kenyamanan, dan kenikmatan hidup duniawi. Tetapi ilmu dan teknologi ternyata tidak mampu mengatasi tirani dan kungkungan nafsu, keserakahan dan kodrat manusia yang juga mengandung potensi keburukan, di samping kebaikan. Karena itu, impian, dan bahkan tujuan diturunkannya agama untuk mewujudkan rahmatan lil 'alamin itu, kunci utama mengamalkannya, ternyata bukan terletak pada ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pada pengamatan lebih lanjut, kita akan dengan mudah menemukan bahwa premis rahmatan lil 'alamin itu, unik ajaran moral agama. Sementara premis etis rahmat bagi sekalian alam dengan menciptakan kesejahteraan, kemakmuran, kebahagiaan, dan cinta kasih antarsesama manusia, ternyata tidak sama dengan premis dasar perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang 'bebas nilai'. Karena itu tatkala menghadapi hasil karyanya, temuan-temuan luar biasa dari iptek, masih tetap miskin dimensi etis pemanfaatannya.

Agama, menurut pendapat saya merupakan patokan utama, sementara ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sarana pembantu dalam upaya menciptakan rahmat bagi alam semesta itu.

Kita tidak bisa mengingkari makna anugerah Allah berupa kemurahan dan hikmah hasil temuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi kita juga sama sekali tidak bisa meninggalkan ajaran agama yang mengajarkan pembebasan manusia lewat tauhid, kepatuhan manusia pada aturan, dan hukum agama yang diimaninya serta akhlak mulia. Menjadi tugas dan kewajiban cendekiawan Muslim untuk mempertemukan kemudian memasyarakatkan kedua nikmat yang dilimpahkan oleh Allah Ta'ala kepada umat manusia ini.

Sesungguhnyalah, tatkala kelak kita berhasil mempertemukan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu pihak dengan agama di pihak lain, saya bermimpi Insya Allah, kita bisa secara damai membentuk masyarakat umat manusia yang mempunyai acuan tunggal. Manusia yang berkualitas, dan masyarakat yang berkualitas pula. Ilmu pengetahuan berguna bagi manusia untuk meningkatkan kualitas berpikir, berkarya, bekerja, dan hidupnya, dengan memerangi kungkungan tirani takhayul, kebodohan, kemiskinan, dan klenik. Sementara agama dengan wahana ajaran-ajaran moral serta amal ibadahnya Insya Allah menanamkan rasa cinta kasih sesama manusia, mengasah akhlak kehidupan bersama secara harmonis, rukun, damai, dan berbudi yang baik. Kalau tiang peradaban itu bisa bertemu niscaya kita akan menemukan sebuah masyarakat baru yang maju, sejahtera, adil, dan makmur yang diridhai oleh Allah SWT.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar