"Kum salam," sahut mereka, seperti biasa, bareng-bareng. Wajah mereka tampak terkejut. Karena tidak menduga saya datang juga. Bagaimana saya bisa tidak datang? Kiai itu menelpon ke rumah. Maka saya pun menyaksikan saat penting menjelang muktamar NU ini.
"Silakan duduk. Ini bagian Anda. Halaman dua belas sampai dua puluh tiga. Tolong baca dulu sebelum komentar," seru Kiai Yusuf Hasyim memberondong. Saya belum selesai menyalami hadirin yang duduk berserakan di lantai karpet itu, tatkala kertas itu sampai di tangan.
Kamar losmen itu begitu sempit. Ruang seluas empat kali empat di hotel Pardede malam itu dipenuhi asap rokok. Drs. Syah Manaf dan Anwar Nuris, Ketua dan Sekjen Tanfidiyah keduanya perokok berat. Sementara Kiai Munasir, sang Mustasyar sedang lelap memejamkan mata. Beliau tiduran di lantai meredakan kecapaian. Sang Syuriah, Kiai Yusuf Hasyim selaku tim materi memimpin 'sidang akbar' yang elok ini. Abdurrahman Wahid sang Ketua Umum Tanfidiyah menyusul kemudian. Membawa serta leluconnya bertubi-tubi. Suguhannya? Air Aqua, kopi, dan kue putu hijau, putih ditabur kelapa parut. Anak-anak muda kader NU dengan tekun melayani 'pleno' mustasyar, syuriah, dan tanfidiyah ini dengan komputer laptop yang siap merekam omongan mereka.
***
"Wah, saya baca bahan ini tidak seperti bahasa NU. Apa muktamirin bakal mengerti omongan begini? Isinya sih elok. Mutakhir, cermat, peduli, memihak dhuafa dan menggugat ancaman kerusakan lingkungan. Benar berani nih?" tanya saya, setelah membaca cepat halaman bagian saya tadi. Memang, rancangan naskah itu terasa menggebu-gebu. Bahasa anak muda.
"Hati sih berani. Tetapi dengkul ini lho yang gemetar!" tiba-tiba Kiai Munasir terbangun. Rupanya sebelumnya beliau sudah baca juga. Saya kagum. Patriot sepuh sisa laskar Hisbullah ini ternyata masih peka. Beliau pun bangkit pelan-pelan. Membetulkan kembali ikat pinggangnya yang dikendorkan tatkala istirahat. Dan mulailah berkomentar substantif.
"Bagaimana Bung Syah Manaf? Sudah baca belum? Ini kan bidang Anda. Ayo, komentarnya!" seru Pak Ut, panggilan akrab Kiai Yusuf Hasyim pada rekannya yang duduk slonjor di sampingnya.
"Dah daah. Pokoknya begitulah! Ini materi ketinggian. Bahasanya perlu di-NU-kan?" kata Drs. Syah Manaf.
"Bung Anwar Nuris? Apa bagi Anda bahan ini sudah las jelas, tek gletek atau bur kabur dan wet ruwet?" Pak Ut mulai menggoda Sekjennya yang orang Madura ini. Yang digoda pun turut tertawa.
"Saya ndak habis pikir. Apa urusan NU dengan rumah kaca? Kalau rumah genteng, baanyak. Rumah beton, aada. Tapi rumah kaca? Kan bukan urusan jamiyah diniyah?" seru Anwar Nuris membalas.
"Ada yang terlewat membacanya bung. Yang bener, efek rumah kaca. Itu istilah lingkungan hidup," jelas Muhammad Billah.
"Efek kek, ifik kek, pokoknya saya tidak setuju rumah kaca. Kedengarannya serem bagi saya!" Anwar Nuris bertahan. Billah pun habis akal. Dilemparnya bola ke Abdurrahman Wahid.
"Baik usul ditampung. Tetapi bunyi perubahannya?" tanya Gus Dur. Semua terdiam. Buntu. Saya menebak, jawaban itu sederhana. Pokoknya ndak pakai mah rumah, ca kaca. Titik.
***
Bahan serius itu ternyata dibahas dengan santai dan ger-geran sampai pukul tiga pagi. Menyesuaikan gaya kerja NU saya mengalami kepayahan. Lewat pukul satu saya tersungkur di lantai. Padahal tadi sudah diganjel dengan kopi ditambah martabak dan putu. Yang tersisa tinggal sayup-sayup kepekaan telinga menikmati ger-gerannya Mustasyar, syuriah, dan tanfidiyah berdebat seru mengenai rancangan materi Muktamar Yogyakarta yang hari ini sedang berlangsung. Begitu juga kader-kader muda NU lainnya ternyata kalah tangguh dari Kiai Munasir, Pak Ut. Abdurrahman Wahid, Syah Manaf dan Anwar Nuris yang kukuh menjaga gawang dalam perdebatan larut malam itu. Ahmad Bagja sang wakil sekjen mulai undur sedikit ke belakang. Ia menyandar ke tembok. Billah menyelinap ke kamar sebelah untuk rebahan. Sedang Arifin dan Helmi menopang kesadarannya dengan kopi bertubi-tubi. Keduanya harus mencatat makna yang terselip di balik ger-geran itu, mengambil intinya.
Ada tiga hal yang tersirat dalam kerja khas NU malam itu. Pertama, kesederhanaannya. Dapatkah Anda bayangkan? Materi muktamar yang gegap gempita itu dikerjakan dengan kesederhanaan yang luar biasa, tetapi dengan semangat yang begitu menggebu? Kedua, saya menjadi silau terhadap elan demokrasi jam'iyah diniyah NU yang konon kolot ini. Bagaimana bisa saya bayangkan? Unsur dan tokoh-tokoh yang di luar digambarkan begitu diametral dan beda pandangan dan pendiriannya, bisa duduk bersama dengan santai, bercanda lepas, tulus-ikhlas, dan penuh persaudaraan. Menurut pandangan saya, itulah manifestasi kematangan berdemokrasi. Mampu berdamai dengan perbedaan pendapat dan sabar mengupayakan konsensus. Ketiga, ulama penegak tradisi NU ini ternyata memberi bimbingan dan tempat pada peran kader mudanya membantu merumuskan rancangan keputusan muktamar yang begitu bergengsi.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar