Minggu, 09 Agustus 2015

Dilema Umat Islam Indonesia

"Assalamu'alaikum Bang!" Seru anak muda jangkung berpakaian perlente itu seraya menghempaskan badannya di sofa kursi tamu kantor saya. Batin saya, orang ini mesti pura-pura saja mengenal saya. Karena, siapa pun yang kenal saya beneran mesti memanggil Mas, bukan Abang atau Bang. Dan dia tidak akan bersikap sok santai demikian di hadapan seniornya.

"Wa'alaikumussalam, warahmatullahi wabarakatuh!" Jawab saya memenuhi amanah, tetapi juga menunjukkan bahwa saya sengaja berformal-formal dengan tamu yang tidak saya undang ini. Saya perhatikan anak muda ini santai menatap wajah saya dengan pandangan pembawa rahasia yang aneh.

"Bagaimana Bang kabarnya ICMI? Kenapa Abang pilih Habibie sebagai ketua? Bagaimana itu dengan Dawam? Beberapa hari yang lalu kami mengadakan pertemuan di Ciloto, dan dibubarkan polisi. Bagaimana pula itu Kang Jalal?..." Pertanyaan itu nyerocos keluar dari mulutnya. Saya terkesan, ia tidak membutuhkan jawaban. Karena sesungguhnya yang tamu saya ini hendak ungkapkan hanya akan memberi kesan pada saya bahwa benar-benar ia 'pejuang Islam'. Bahwa benar dia tokoh pemuda yang mengenal saya. Dan bahwa dia sungguh-sungguh tahu apa yang dimongkannya. Setiap kali saya menyahut, idiom Islam membanjir dari bibirnya. Alhamdulillah, Insya Allah, Astaghfirullah…

Tetapi anehnya, ungkapan yang kuat mengacu akidah Islamiyah ini tidak seperti biasa dampaknya pada getaran batin saya. Mulut manis anak muda ini tidak mampu menggetarkan rasa persaudaraan saya yang tulus. Yang ada, masya Allah, ada seribu satu pertanyaan. Orang yang saya hadapi ini hendak mempunyai maksud apa? Ia disuruh siapa dalam kapasitas apa mempersoalkan perjuangan umat Islam dengan ancang-ancang yang sungguh menimbulkan teka-teki besar bagi saya?

Benar saja. Orang itu mengaku bernama Muhammad Amin, jabatannya Ketua Departemen Kekaryaan dan Partisipasi Pembangunan Nasional PB HMI. Tanpa saya minta ia membawa surat tugas untuk melakukan perjalanan ke daerah Sulawesi Utara. Celaka bagi dia, surat tugas itu diketik di atas kop surat PB HMI yang saya ketahui fotokopian. Ditandatangani oleh Ferry B. Mursidan, selaku ketua umum. Anehnya lagi, surat tugas itu disertai catatan kaki, "Kepada kakak-kakak alumni HMI, kami mohon dukungannya dan bantuannya." Lalu dengan santainya si Muhammad Amin pun menyodorkan kuitansi dukungan dan bantuan yang harus saya bayar. Dari yang kenal akan reputasi dan integritas organisasi mahasiswa dalam HMI ini, catatan kaki dan kuitansi itu justru mengundang kecurigaan yang amat sangat.

Karena itu, saya pun mengecek ke Bung Ferry Mursidan via telepon. Benar saja, tamu saya itu, seorang yang sedang menyalahgunakan idiom Islam dan eratnya persaudaraan alumni HMI. Ia bukan anggota PB HMI pimpinan Ferry B. Mursidan. Saya prihatin. Saya kasihan. Tetapi, dia juga melakukan refleksi. Apa sesungguhnya yang sedang dihadapi umat Islam Indonesia dewasa ini? Kejadian itu adalah kasus yang sangat sehari-hari dan bukanlah hal yang luar biasa. Tetapi bagi saya, pembina kuat di ICMI, kedatangan Muhammad Amin ini membisikkan pesan yang sangat nyaring di telinga saya. Bisikan tentang soal yang sedang dihadapi umat Islam Indonesia khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.

Dalam kancah perjalanan pembangunan nasional, umat Islam berada di tengah-tengah persaingan memperebutkan kesempatan kerja, kesempatan berusaha, serta peluang untuk mengambil manfaat yang banyak dari pengerahan potensi nasional. Dalam kehidupan sosial dan politik, umat Islam mendambakan suatu tatanan di mana mereka bisa berperan secara substantif, dalam kancah percaturan nasional. Harus diakui, entah real ataupun perseptif, umat Islam dilanda semacam perasaan keterasingan; rasa tersisihkan, bisa jauh ketertinggalan. Rasa berada jauh di pinggiran. Dan rasa ketidakberdayaan.

Menghadapi situasi semacam itu, reaksi umat bermacam-macam. Bagi yang berkemampuan dan berkekuatan, mereka bangkit memperbaiki posisi luarnya. Tujuannya untuk membangun kemampuan bersaing dalam kancah yang mengacu pada hukum pasar yang tidak sempurna itu. Bagi yang tidak berdaya, ada dua macam reaksi yang menonjol. Pertama, mereka yang takluk mau menerima nasib itu sebagai suratan dan cobaan Allah. Amalan dan responsnya golongan ini banyak diwujudkan dalam bentuk kepasrahan, perbanyak doa, zikir, tahlil, dan tahmid. Kedua, orang yang tidak mau tunduk dan mulai mempertanyakan landasan ajaran moral dan akhlak Islam yang selama ini menjadi acuannya. Kesimpulan kelirunya adalah dengan mengesampingkan dimensi moral dan akhlak ajaran agamanya, untuk mencebur di dalam pergumulan sosial yang terbuka, kompetitif tetapi belum dibarengi oleh budaya hukum yang kukuh dan peradaban etis yang mengakar. Dari luar, mereka ini tampak mengangkat tinggi-tinggi panji-panji Islam, seraya meneriakkan idiom syariat yang mampu membikin mereka nampak saleh di kulit luar. Tetapi di dalamnya, masya Allah, perbuatannya sungguh secara hakiki tidak Islami.

Sebuah tantangan yang dihadapi oleh umat Islam dewasa ini. Kita perlu mencari pemecahan secara konsepsional bagaimana menegakkan sistem sosial yang berakhlak mulia, berkeadilan, dan penuh rasa persaudaraan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar