Masyarakat kita rupanya sudah betul-betul menganggap perbedaan pendapat sebagai suatu kemewahan. Karena itu, tatkala ada di antara cendekiawan Islam tidak sependapat dengan berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), lalu geer. Ada yang bilang bahwa, bagaimana ICMI bisa berlanjut hidup, kalau baru berdiri saja sudah diliputi konflik? Atau suara yang menyatakan bahwa di antara eksponen pendirinya saja sudah terjadi perbedaan pendapat, bagaimana dengan anggota-anggotanya? Mengapa beberapa keputusan awal di ICMI diambil dengan cara yang kurang demokratis dan seolah-olah dipaksakan?
Mula-mula yang perlu ditanyakan apakah berdirinya ICMI itu legal? Menurut konstitusi, kita dijamin memiliki kebebasan berserikat. Asal sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Karena itu, tatkala berdiri, ICMI menetapkan anggaran dasar dan program kerjanya, untuk merumuskan asas berdiri, tujuan, keanggotaan, dan arah kegiatannya. Lalu mengajukan permohonan legalitas berdirinya melalui instansi pemerintah yang berwenang. Anggaran dasar dan program kerja itu disusun oleh kelompok kerja dan dikonsultasikan secara intensif, sebelum disetujui. Karena itu, menurut saya, ICMI berdiri secara legal dan sah.
Apakah ICMI perlu berdiri? Menurut sebagian besar cendekiawan Muslim: perlu. Sementara sejumlah lainnya mengatakan tidak perlu. Biasa, dalam sebuah masyarakat demokrasi. Justru kalau semua mengatakan perlu atau semua mengatakan tidak perlu, kita menjadi bertanya-tanya. Benarkah 'kesatuan pendapat' itu tulus, atau terpaksa, dipaksa dan direkayasa? Menurut pendapat saya, salah satu ciri cendekiawan ialah kemampuannya untuk meneguhkan pendiriannya dengan reasons. Jadi, asal seseorang menentukan sikapnya untuk setuju atau tidak setuju berdirinya ICMI itu dengan reasons, ia secara moral sehat. Kalau ada cara-cara mempengaruhi, mengimbau, menjelaskan sampai menakut-nakuti atau setengah memaksa untuk menjual pendiriannya agar orang lain ikut setuju maupun ikut tidak setuju, menurut saya, hal itu merupakan sesuatu yang manusiawi. Masyarakat Indonesia ini selama bertahun-tahun telah dibiasakan dengan atmosfer semacam itu. Kalau masih ada yang kaget, mungkin mereka itu berpura-pura saja. Yang kita uji adalah, seberapa jauh cendekiawan Muslim mampu menghadapi dan menangkis cara-cara yang 'lazim' namun ada yang mempengaruhi orang lain itu. Saya bangga, baik yang setuju maupun tidak setuju berdirinya ICMI, semuanya telah jelas, gamblang, mengemukakan alasan dan argumentasinya secara sangat cerdas dan cemerlang. Itulah demokrasi! Itulah clan ulil albab, yang diandalkan dalam peradaban tersebut.
Apakah semua cendekiawan Muslim setuju menjadi anggota ICMI? Tidak semua cendekiawan Muslim setuju menjadi anggota ICMI! Itu benar dan sehat. Kalau semua setuju, mendukung dengan kebulatan tekad, saya bahkan curiga pada kecerdasan cendekiawan Muslim Indonesia. Mana ada cendekiawan ikut-ikutan? Kalau tidak ikut-ikutan, tiap orang tentu punya pendirian. Keberanian mempertahankan dan berargumen tentang pendiriannya itulah yang menyebabkan perkembangan kehidupan demokrasi kita akan menjadi lebih sehat. Dan dampaknya dicerminkan dengan spektrum persetujuan, reservasi, reluctance sampai setuju dan mendukung mati-matian, dan turut berjuang demi suksesnya ICMI yang baru berdiri ini.
Ujian atas keabsahan (legitimasi) berdirinya ICMI adalah tatkala nanti ia sudah mengarungi perjalanan sejarahnya. Seperti semua perjalanan, masa awal, take off, start, dan permulaan adalah tarikan yang sangat jelas terasa. Tetapi ketika nanti perjalanannya sudah mulus, Insya Allah semuanya menjadi enteng. Bagaimana ICMI menghadapi badai politisasi, kecurigaan untuk kooptasi, kerawanan perpecahan dan keretakan, peluang, dan kerawanan untuk bisa dianggap atau bahkan diperlakukan sebagai front baru umat Islam, merupakan kemungkinan bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan organisasi ini. Tetapi bagi mereka yang jujur menilai suasana pertemuan di Malang, tatkala simposium diselenggarakan dan gegap gempita pertemuan-pertemuan berikutnya untuk mendirikan ICMI, melengkapi pengurus dan menghubungi pihak-pihak yang dirasa memerlukan kejelasan, sambutan, antusiasme umat Islam dan ulama sangat mengharukan. Memang, untuk tahap awal berdirinya, organisasi ini tidak mampu menampung kesertaan aktif dalam tubuh kepengurusan ICMI. Maklum umat Islam sangat besar jumlahnya dan organisasi Islam memiliki tradisi kaderisasi yang sudah melembaga dan sangat kokoh. Akibatnya, banyak tokoh jempolan dalam berorganisasi di dalam pendukung ICMI. Biarpun struktur organisasi sudah dibikin segede gajah, namun saya tahu, masih saja ada cendekiawan hebat yang belum tertampung dalam wadah kepengurusan.
Ada yang bilang, selama pengurus ICMI banyak yang pegawai negeri atau pejabat, maka kelak akan juga terkena demam monoloyalitas. Inilah trauma masa lalu sengketa laten antarumat Islam, yang harus dicari pemecahannya oleh ICMI. Saling curiga dan su'uzhan antarsesama Muslim berdasarkan stereotype dan generalisasi yang tidak cerdas, juga ditemui di antara mereka yang mengaku cendekiawan. Cendekiawan tulen tentu tidak terperangkap stereotype. Ada banyak pegawai negeri dan pejabat yang hebat kesetiaannya pada hati nurani dan memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan yang memancar dalam ajaran Islam. Banyak juga orang Islam bukan pegawai negeri, yang bisa menggadaikan nuraninya untuk diperalat dan menyediakan diri menjadi begundal pertarungan kepentingan bisnis, politik, bahkan kekuasaan, dengan merusak kesatuan umatnya.
Karena itu kenapa tidak diberi peluang ICMI membuktikan kemampuannya untuk mewujudkan impiannya. Bahkan kemampuannya untuk setia pada cita-cita jangka panjangnya turut mengambil bagian dalam proses perubahan sosial masyarakat Indonesia yang makin maju dan diridhai Allah. Kenapa kita tidak turut untuk memelihara silaturahmi agar saudara-saudara kita yang mengambil bagian dalam kegiatan ICMI di pusat dan di daerah tidak tergoda untuk melecehkan perjuangan ICMI yang mulia seperti diidam-idamkan pendirinya, seraya berdoa mudah-mudahan mereka diberi kekuatan untuk menghadapi cobaan? Itulah semangat persaudaraan Islam yang sejati.
Sebaliknya pada tahap ini, sudah cukup argumen ditumpahkan untuk mempersoalkan berdirinya ICMI dan dinamika awal kegiatannya. Ada perbedaan pendapat, bahkan dikatakan sementara orang dengan konflik, ada langkah-langkah kagok yang merisaukan, tetapi juga ada kemampuan untuk tetap menjaga kohesinya. Buktinya protagonist konflik dalam ICMI masih tetap sepakat untuk meneruskan perjuangan dalam ICMI. Bahkan di antara cendekiawan Muslim yang berbeda pendapat tentang urgensi ICMI bersedia tetap memelihara komunikasi, silaturahmi dan saling konsultasi menyesuaikan referensi perjuangan 'budaya' cendekiawan Islam menyongsong abad kedua puluh satu ini. Itu kata saya. Anda boleh dan sah untuk berbeda. Tetapi kita kan lahir batin tetap teman baik kan?[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar