Selasa, 11 Agustus 2015

Kerukunan dan Toleransi Antarumat

Seorang kader Golkar kelahiran Aceh, suatu hari bertanya dalam sebuah seminar. Saya kenal pemuda itu sangat tulus. Karena itu pertanyaannya sungguh saya percaya, memancar dari lubuk hatinya yang dalam. Bahkan dari kesadaran imaninya yang tiada henti 'mencari' ridha dan kedekatan dengan Allah. Tuhan yang dia sembah.

"Bagaimana saya bisa menafikan keyakinan orang lain di luar keyakinan agama saya, Islam, dan begitu saja menganggap itu semua secara teologis---sebagai ajaran yang menyesatkan, bila pada saat yang sama saya secara jujur juga mengagumi seorang seperti Romo Mangunwijaya, misalnya, yang kebetulan seorang Pendeta Katholik!

Sukar bagi saya menganggap bahwa beliau bukan orang saleh, sebab saya mengetahui dengan pasti bahwa selama ini beliau bekerja dan berdoa tidak untuk diri sendiri melainkan dalam rangka mendampingi orang miskin, papa, dan terbuang. Karena itu saya yakin, bahwa beliau bukanlah makhluk jahat, juga bukan personifikasi dari ajaran yang menyesatkan. Hal ini merupakan dilema keagamaan berat yang saya alami dalam kehidupan saya. Hal ini pulalah yang merupakan 'tema dialog' saya dengan Allah hingga saat ini. Maka salah satu tema tetap dalam doa saya adalah: Berikanlah selalu rahmat dan pengetahuan untuk memperkuat keyakinan saya tentang Islam, ketika saya harus mengapresiasi kebijaksanaan ketuhanan yang Allah tunjukkan kepada saya berupa realitas keragaman agama yang Engkau turunkan kepada manusia."

Ungkapan ini saya kutip dari buku risalah seminar sehari berjudul "Agama dan Pluralitas Masyarakat" yang diterbitkan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat. Buku ini sangat kaya dialog dan keterusterangan tentang landasan teologis dan semangat toleransi yang ada di tiap agama yang ada di Indonesia. Beberapa bahkan mengejutkan. Tatkala memandang wajah dan tutur kata Kiai Ali Yafie, yang berbicara juga dalam seminar itu, seorang pendeta Protestan yang duduk di sebelah saya berbisik: "Mas Cipto. Perhatikan wajah kiai kita ini. Begitu teduh melindungi, begitu tulus, sabar, menyentuh di hati, biar di antara kami umat Kristiani. Tutur katanya lembut, dan isinya sangat menyejukkan. Saya tidak bisa bilang lain, selain inilah semangat Islami yang juga saya pelajari dengan saksama dari sumbernya!"

Kalau kedua umat beragama terwakili oleh semangat dialog itu, alangkah elok kehidupan di Republik tercinta ini. Keragaman dan kemajemukan kita terima sebagai rahmat Allah. Bahkan dengan sungguh-sungguh para pemuka agama itu juga menyajikan landasan teologis dan Qurani bagi umat Islam untuk membangun toleransi itu. Dengarlah misalnya nasihat H.M. Dr. Quraish Shihab kepada pertanyaan pembuka tadi. "Kalaulah pendapat yang menyatakan bahwa manusia modern tidak dapat lagi menerima pandangan yang menyatakan bahwa hanya satu agama yang benar, tetapi banyak, (dan) kalaulah pendapat ini telah dapat diterima oleh seluruh umat manusia yang mengaku modern, niscaya pembicaraan mengenai absoluditas dan relativitas ajaran (agama) tidak lagi perlu dibahas." Sayangnya, harus diakui, masalah itu masih ada!

Karena itu tatkala membuka makalahnya, Dr. Quraish Shihab memulai dengan, "Kalaulah ayat 62 surah Al-Baqarah diresapkan, tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan landasan ajaran tentang toleransi dan kerukunan itu." Lalu ia pun mengutip ayat itu dengan khidmat:

Sesungguhnya orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, serta beramal saleh, mereka semua akan mendapat pahala dari Tuhan mereka dan tidak akan khawatir, tidak pula akan bersedih.

Saya lalu tafakur. Kalau demikian keadaannya, apakah perasaan khawatir tentang saudara-saudara yang berlainan agama dan kegiatan dakwahnya itu bukan lebih merupakan prasangka kelompok semata-mata, yang membutuhkan dialog yang kontinu dan terbuka serta jujur? Mungkin akar masalahnya bukan agama atau landasan imani. Mungkin ada masalah-masalah lain, yang mendasari perasaan itu yang dengan mudah dibungkus dengan dalih agama dan kegiatan umatnya? Karena ternyata semua agama juga mengakui, fungsi utama agama dalam konteks individual dan sosial adalah untuk memberi perasaan aman dan sejahtera kepada pemeluk agamanya. Kalau kemudian agama digunakan sebagai wahana ekspresi rasa tidak aman dan kesenjangan dalam kesejahteraan umat, menjadi kewajiban kita semua, bukan hanya pemimpin agama saja, untuk mengatasinya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar