Rabu, 05 Agustus 2015

Peradaban Islam: Tauhid, Syariah, dan Akhlaqul Karimah

Setelah kesepakatan Bai'atul Aqabah Al-Kubra, yang dibuat antara Rasulullah dengan sejumlah orang yang berasal dari Yatsrib, maka persiapan untuk hijrah itu pun dibuat oleh pengikutnya. Sumpah setia sejumlah orang Yatsrib itu, setahun kemudian diikuti undangan bagi Rasulullah dan para sahabat untuk membangun masyarakat baru di kota yang bersahabat itu. Undangan itu sangat mengharukan. Di Makkah saat itu upaya Muhammad Rasulullah untuk menyebarkan Islam mendapatkan tantangan keras dari sementara pemuka-pemuka Bani Quraisy. Mereka khawatir, ketenteraman peradaban dan cara hidupnya bisa guncang, apabila ajaran Islam diikuti oleh penduduk itu.

Maka berbondong-bondonglah orang Muslim dari Makkah keluar, setelah terlebih dahulu menjual barang-barang miliknya dengan tekad menetap dan membangun masyarakat baru di Yatsrib. Tiga orang pemimpin umat yang paling akhir meninggalkan Makkah adalah Abu Bakar, Ali dan Rasulullah sendiri. Maka untuk persiapan perjalanan rahasia meninggalkan Makkah, Abu Bakar yang saudagar kaya itu membeli dua ekor unta dan mencari penunjuk jalan guna melaksanakan rencana pelarian itu. Rasulullah menunggu perintah Allah, kapan perjalanan harus dilakukan. Dan ternyata perintah itu turun, tatkala sesungguhnya kaum Quraisy siap melakukan pembunuhan atas diri beliau. Sebagai orang kepercayaan umatnya Rasulullah masih menanggung amanah, menyimpan harta anggota masyarakat yang dititipkan kepada beliau. Namun karena kejujuran dan keteladanannya, beliau tidak menggunakan kegawatan situasi itu sebagai alibi. Sebelum meninggalkan Makkah secara rahasia, terlebih dahulu amanah itu diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib, untuk dikembalikan pada pemiliknya.

Drama perjalanan yang amat gawat itu kemudian direkam secara sangat baik oleh sejarah Islam. Bahkan diabadikan dengan sangat baik oleh sejarah Islam. Hari tanggal perjalanan atau hijrah Nabi ke Yatsrib, yang kemudian dinamakan Madinah Al-Munawwarah---kota yang memancarkan sinar peradaban Islam baru itu---sebagai tahun baru Islam. Hari tanggal kedatangan dan penyambutan gegap gempita Rasulullah di Madinah sendiri sesungguhnya jatuh pada hari Jumat, Rabi' Al-Awwal, yang jatuh pada 24 September tahun 622 Masehi. Kemudian, sebagai hasil perundingan di antara para sahabat, khalifah Umar bin Khaththab menetapkan permulaan tahun kalender Hijri mulai 1 Muharram, yang jatuh pada 16 Juli 622 Masehi, tujuh puluh satu hari sebelum Rasulullah tiba di Madinah. Sampai sekarang, umat Islam seluruh dunia merayakan tahun baru Hijri setiap tanggal 1 Muharram.

Kenapa pilihan kalender itu dijatuhkan pada hari-hari sekitar kedatangan Rasulullah di Madinah? Menurut sejarawan Islam, karena sejak saat itulah sesungguhnya dasar-dasar peradaban Islam diletakkan. Selain mengakhiri tiga belas tahun penistaan, pengejaran dan dimata-matai terus segala gerak-gerik umat Islam, era itu adalah permulaan dari kebangkitan umat melawan kegagalan perjuangan dan menghadapi tantangan melaksanakan elan peradaban baru, Islam. Hijrah itu juga yang memisahkan periode penghinaan umat dengan periode gemilang, keberhasilan misi kerasulan Muhammad saw. Di Madinah Al-Munawwarah, Rasulullah tidak lagi hanya seorang imam dan penyebar agama. Beliau juga dinobatkan oleh pengikut-pengikutnya untuk menjadi mandataris pemerintahan negara. Dengan kekuasaan formal itu, beliau dapat menggunakan wewenang eksekutif untuk meletakkan dasar-dasar peradaban baru menurut Islam. Di Madinah, lalu turun ayat-ayat suci lagi, yang memberi petunjuk bagaimana mengelola masyarakat dan komunitas politik menurut sendi-sendi Islam. Rasulullah mendapat petunjuk melalui firman-Nya untuk menjalankan peran sebagai teladan pemimpin, teladan pembuat dan penegak undang-undang, dan teladan pembaru.

Sendi dasar ajaran Islam dan peradaban Madinah Al-Munawwarah adalah tauhid, syariat, dan akhlakul karimah. Tatkala baru tiba di Madinah, hal yang pertama-tama dikerjakan Rasulullah dan para sahabatnya adalah mendirikan masjid. Di situ dikembangkan peradaban persamaan di antara sesama umat manusia. Masjid Nabawi, yaitu yang dibangun Nabi di Madinah itu, adalah wahana pembangunan peradaban Islam. Ia bukan hanya tempat shalat dan mengaji, masjid juga tempat sosialisasi ide dan gagasan masyarakat baru Islam. Masjid Nabawilah yang pertama-tama menjalankan fungsi sebagai pusat pertemuan umat guna membahas segala macam masalah agama, kemasyarakatan, dan pengambilan keputusan lewat musyawarah untuk mufakat. Tatkala semua fungsi penting itu dilakukan di masjid, niscaya tiang tauhid, yaitu bahwa semuanya itu hanyalah wahana untuk menjalankan perintah dan mengharapkan ridha Allah, dapat benar-benar diilhami dan diamalkan dalam lingkungan yang sesuai.

Masyarakat Madinah Al-Munawwarah ialah tatanan pertama yang secara formal dan amat modern meletakkan dasar-dasar ajaran dan syariat Islam dalam mengelola public affairs. Di situlah misalnya dijalankan hukum-hukum Islam menurut ajaran Al-Quran dan kewicaksanaan dan keteladanan Rasul. Di situ pula pertama kali ditunjukkan besarnya wisdom Islam dalam mengelola kemajemukan masyarakat. Dalam Piagam Madinah, misalnya, diatur bagaimana hidup bersama itu diatur melalui kontrak sosial dan kesepakatan bersama. Orang-orang yang seagama, baik dari Bani Quraisy maupun dari Madinah mengikatkan diri dalam satu ikatan kebangsaan dan berjuang di bawah satu panji-panji.

Tetapi hak-hak perlindungan, bantuan, dan pelayanan bagi orang yang bukan Islam---yaitu Yahudi---diperlakukan sama seperti warga negara lain. Mereka ini diberi kebebasan memeluk agama masing-masing dan menjalankan syariat agamanya secara bebas, sebebas saudara-saudaranya yang Muslim. Kebebasan dan keamanan orang-orang Yahudi dijamin sama dengan orang-orang Muslim. Siapa saja, tanpa membedakan agama dan asal serta keturunannya, yang bersalah harus dihukum setimpal dengan dosanya. Dan semua sengketa yang kelak bisa timbul dalam tatanan kesepakatan itu haruslah dikembalikan pada ajaran tauhid, kepada pengakuan atas kebesaran Allah Ta'ala dan kearifan, serta keadilan Rasulullah.

Hasil dari tatanan yang dibangun atas landasan tauhid dan syariat adalah masyarakat yang berakhlak mulia. Rasulullah meletakkan dasar-dasar bangunan masyarakat Islam itu dengan acuan utama terjaganya akhlak masyarakat dan individu. Hukum saja tidak cukup. Kepatuhan pada syariat bisa menyesatkan, kalau tidak ada patokan dasar atas kriteria apa sesuatu bangunan kelembagaan, ajaran, dan perilaku itu dianggap Islami dan mana yang tidak Islami. Acuan akhlakul karimah menjadi rujukannya. Islam pada dasarnya adalah agama yang mengajarkan tentang akhlak mulia. Karena itu tatanan masyarakat seperti apa pun, aturan hukum yang bagaimana pun, akhirnya harus diukur dengan kriteria dasar ajaran Islam tentang akhlak. Kemuliaan akhlak anggota masyarakatnya, dan tegaknya wibawa akhlak pemimpin-pemimpinnya. Sikap adil, pemurah, dan pengasih, tenggang rasa, tidak sewenang-wenang, menolong dan menyantuni orang miskin dan anak yatim, ambeg paramarta dan adalah akhlakul karimah Islam.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar