Umumnya media massa meminta saya, selaku kolumnis, mengungkapkan pikiran, renungan, dan tanggapan atas masalah aktual itu. Sebaliknya, dalam menanggapi peluang yang diberikan media itu, saya selalu berusaha agar supaya sejauh mungkin tulisan saya itu bisa mencerminkan, bukan hanya pikiran yang relevan dari sudut pandang subjektivitas saya, melainkan sudah merupakan ramuan reaksi khalayak yang beragam latar belakang dan motif di baliknya. Karena itu dalam nada yang terdapat dalam kolom-kolom itu, ada semacam pemihakan. Pemihakan pada khalayak, utamanya mereka yang tidak bisa atau tidak cukup tertampung suaranya, dalam wacana budaya, sosial, politik, dan ekonomi yang dampaknya langsung atau tidak langsung bisa sangat besar bagi kehidupan mereka.
Karena sifatnya, media massa memang selalu memilih masalah-masalah aktual dari sudut pandang dan ukuran-ukuran jurnalistik. Bukan hanya kaidah pers seperti names makes news atau aktualitas menentukan berita, tetapi juga masalah keberdayaan selalu cenderung dilihat kontrasnya di hadapan ketidakberdayaan. Sesuai dengan kredo profesinya, pemihakan insan pers umumnya secara sadar diletakkan pada pemberdayaan pihak yang tidak berdaya di hadapan mereka yang serba berdaya. Pihak yang sarwa berdaya itu yang umumnya mendapatkan serba keberdayaannya dari berbagai sumber kekuasaan atau otoritas. Sumber kekuasaan itu bisa, misalnya, berasal dari penguasaan ilmu pengetahuan, informasi, uang, atau kekuatan fisik yang kemudian digunakan untuk mengaktualisasikan serba keberdayaannya itu. Atau bisa bersumber atau ditunjang dengan sekadar atribut kekuasaan dan atau jabatan.
Bagaimana sikap mereka yang tidak berdaya di hadapan serba keberdayaan? Pertanyaan ini bisa merupakan pertanyaan politik, atau bahkan mungkin sekadar pertanyaan kebudayaan. Tergantung dalam konteks apa kesadaran ketidakberdayaan itu dirasakan. Kumpulan esai-esai yang dipilih dan dimuat dalam buku Dialog dengan Kekuasaan ini, dikelompokkan ke dalam tiga bagian, masing-masing menunjukkan bagaimana sikap kita---atau sekurang-kurangnya sikap khalayak di mana saya menempatkan diri dan pemihakan saya---tatkala berhadapan dengan serba keberdayaan yang sumbernya bisa dari agama, kekuasaan, birokrasi, dan demokrasi. Atau bahkan dari rakyat, wanita, dan budaya.
Dari isi dan semangat yang dapat dibaca dari esai-esai itu, pilihan yang saya tegakkan jelas dan konsisten. Yaitu tatkala menghadapi situasi ketidakberdayaan itu, saya mengatasinya dengan selalu berusaha membuka dialog dengan keserbaberdayaan. Karena saya percaya, bahwa fitrah manusia itu pada dasarnya baik dan hanif.
Judul buku---Dialog dengan Kekuasaan---ini dengan tepat menggambarkan semangat budaya yang saya ingin tegakkan. Bagi mereka yang peduli, spektrum media massa yang memuat esai-esai saya yang kemudian dipilih dan disusun dalam edisi buku Dialog dengan Kekuasaan ini, menunjukkan dengan jelas antara lain orientasi budaya dan pertemanan yang saya pelihara. Ada Kompas, Suara Merdeka, Suara Karya, Pelita, Warta NU, Amanah, Tempo, Kiblat, bahkan Pesantren, Eksekutif, Jawa Pos, Forum Keadilan, Matra, Ulumul Qur'an, X-tra dan Tiara.
Esai-esai yang tercakup dalam buku ini belum mencakup seluruh spektrum perhatian dan minat saya. Demikian juga kurun waktu dan penulisannya pun hanya mencakup antara tahun 1984 sampai 1991. Artinya tulisan sebelum tahun 1984 dan sesudah tahun 1991 mungkin perlu dirujuk kalau hendak mendapatkan gambaran yang lebih lengkap dan adil ihwal cita-cita pemberdayaan yang saya ingin kibarkan lewat budaya dialog itu.
Seperti saya kemukakan di muka, semula saya khawatir, ihwal aktualisasi esai-esai yang termuat dalam buku ini. Bukan hanya khawatir isunya sudah basi dan posisi budaya atau sikap saya terlalu dipengaruhi oleh pertimbangan kontekstual, tatkala artikel atau esai itu ditulis. Namun setelah membaca kembali esai-esai itu, ternyata bukan hanya isunya masih aktual tetapi bahkan esensi upaya pemberdayaan dihubungkan dengan tantangan zaman yang kini kita hadapi rasanya masih nyambung, atau in tack.
Dialog dengan Kekuasaan bisa juga merupakan sesuatu impian yang mustahil terwujud? Bukankah dialog hanya terjadi di antara mereka yang setara dan berkedudukan sejajar? Sedang kekuasaan selalu mengandung konotasi ada pihak yang berkuasa dan ada pihak yang dikuasai dan tidak berdaya. Sebaliknya, saya tetap berkeyakinan, peradaban mulia umat manusia hanya akan terbangun kalau dimulai dengan sikap berbaik sangka.
Saya ingin menyampaikan penghargaan yang tulus kepada teman-teman editor buku dari penerbit Mizan yang telah dengan jeli dan cermat memilih esai-esai yang semula terbit dan bertebaran di berbagai media, untuk kemudian dihimpun dan diterbitkan dalam bentuk buku kecil ini. Saya juga menyampaikan penghargaan yang tulus kepada penerbit koran dan majalah yang telah memuat tulisan-tulisan saya dalam bentuk kolom. Terima kasih pula atas perkenannya, untuk dapat menerbitkan ulang esai-esai itu dalam bentuk kumpulan tulisan ini.
Jakarta, 10 Oktober 1995
Sutjipto Wirosardjono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar